HES: Prosedur Pemberlakuan Zakat Profesi kepada Seorang Muslim/ah

Berita

Zakat merupakan kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu. zakat merupakan sarana bagi umat Islam untuk membersihkan diri dari kekotoran kekikiran terutama harta benda. Dan merupakan kewajiban yang telah ditentukan standarnya, apa saja harta benda yang dimiliki yang berhak untuk dikeluarkan zakatnya, kepada siapa dan sudah berapa lama harta itu dimiliki sehingga zakatnya menjadi wajib hukumnya dikeluarkan.

Didin Hafidhuddin (2006) menjelaskan zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrumen utama dalam ajaran Islam, yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan  the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan.

Zen (2014) dalam laporan jurnalnya menyimpulkan bahwa zakat profesi memiliki peranan dalam distribusi ekonomi Islam sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan. Sehingga mustahik dengan adanya zakat profesi akan menolong, membantu, dan membina fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah Swt.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyepakati beberapa komponen penghasilan yang wajib dizakati. Kesepakatan ini diputuskan setelah perkumpulan ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada bulan Juni 2018. (CNN Indonesia, 2018)

Berdasarkan fatwa MUI komponen yang dikenakan zakat adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperbolehkan pekerjaan bebas lainnya.

MUI dalam Fatwa Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan menyebutkan bahwa zakat profesi adalah “Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nisab. Jika tidak mencapai nisab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab. Kadar zakat penghasilan adalah 2,5 persen.” (Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan).

Badan Amil Zakat Nasional sebagai salah satu lembaga di bawah pemerintah yang mengelola zakat pada tahun 2017 menetapkan jumlah bilangan nisab zakat secara untuk seluruh Indonesia yaitu dengan nilai uang Rp. 49.895.000,- pertahun yang setara dengan 85 gram emas yang dikeluarkan PT. Antam atau Rp. 4.165.000,- untuk gaji perbulan. (Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 142 Tahun 2017)

Namun pertanyaannya adalah apakah jumlah nisab tersebut langsung dikenakan wajib zakat atau baru dikenakan wajib zakat setelah dikurangi pengeluaran biaya hidup sehari-hari?

Sidang pleno pada Ijtima Ulama pada bulan Juni tahun 2018 di Kalsel yang dipimpin oleh Dr. H. Asrorun Ni’am Sholeh (Sekretaris Komisi Fatwa MUI) menghasilkan regulasi yang dirasa penulis cukup rinci mengenai acuan hukum Objek Zakat Penghasilan: (Detik, 2018)

  • Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
  • Dengan demikian, obyek zakat bagi pejabat dan aparatur negara termasuk, tetapi tak terbatas pada gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya yang bersifat tetap. 
  • Penghasilan yang wajib dizakati dalam zakat penghasilan adalah penghasilan bersih, sebagaimana diatur dalam fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003.
  • Penghasilan bersih sebagaimana yang dimaksud pada nomor 3 ialah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok (alhaajah alashliyah).
  • Kebutuhan pokok yang dimaksud pada nomor 4) meliputi:
  1. kebutuhan diri terkait sandang, pangan, dan papan;
  2. kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, termasuk kesehatan dan pendidikannya;
  • Kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud pada nomor 4 didasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
  • Kebutuhan pokok pokok sebagaimana dimaksud pada nomor 4 adalah Penghasilan Tidak Kena Zakat (PTKZ).
  • Pemerintah menetapkan besaran kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud nomor 4, yang menjadi dasar dalam menetapkan apakah seseorang itu wajib zakat atau tidak. 

 

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang dikenakan zakat jika pendapatannya perbulan atau pertahun mencapai nisab, dengan catatan setelah dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan pokok, termasuk hutang. Artinya jika pendapatan seseorang Rp. 4.165.000,-, namun belum digunakan untuk keperluan pokok sehari-hari (alhaajah alashliyah) atau sebagian untuk bayar hutang, maka dia tidak bisa dikenakan wajib zakat karena penghasilannya belum mencapai nisab.

Pertanyaannya adalah bagaimana keadaan penerimaan zakat di Indonesia saat ini? Asmuni (2018) mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia berdasarkan hasil kajian tahun 2015, mencapai 287 triliun rupiah, termasuk di dalamnya adalah zakat profesi, khususnya yang berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Persoalannya kemudian, kemampuan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) baik pusat, termasuk provinsi, kebupaten dan kota untuk menghimpun zakat tidak mencapai 2% dari keseluruhan.

Arif Rahman (2018) dari hasil risetnya mengenai “Pengaruh Penerimaan Zakat Profesi Terhadap Perkembangan Ekonomi Mustahik di Kabupaten Cianjur Jawa Barat” memberikan simpulan bahwa zakat profesi yang di kelola di sebuah mesjid di Cianjur, belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap  perkembangan ekonomi mustahik zakatnya, hal ini dikarenakan jumlah uang yang belum terkumpul secara maksimal.

Hal senada juga terjadi di Kota Banjarmasin. Mengutip dari BPost.com (2018), zakat profesi di lingkungan pemerintah Kota Banjarmasin masih belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dari 5.900 ASN (Aparatur Sipil Negara) Kota Banjarmasin, hanya 10 hingga 20 orang yang melaksanakan zakat profesi dan menyalurkannya ke BAZNAS Kota Banjarmasin.

Oleh sebab itu penting kiranya untuk mensosialisasikan tentang urgensi dan konsep Zakat Profesi ini. Sebagian orang menganggap bahwa Zakat Profesi memberatkan, padahal ada hal-hal tertentu yang baru seorang dikenakan wajib zakat.

Oleh: Dr. Saifullah Abdus Samad, Lc dan Muhammad Iqbal Ansari, M.Pd.I

Disampaikan pada Pengabdian Masyarakat di Mesjid Besar At-Taqwa Banjarmasin

 

Tinggalkan Balasan