عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ
“Di saat kisah orang-orang saleh dituturkan, akan mengalirlah rahmat dari Allah”
25 Maret 2018, diperkirakan 1,5 juta orang memadati Kelurahan Sekumpul, Martapura, untuk menghadiri Haul ke-13 Guru Sekumpul. Tidak ketinggalan orang nomor satu di Republik saat ini, yaitu Bapak Joko Widodo yang didampingi oleh Kapolri Tito Karnavian dan Gubernur Kalsel yang juga merupakan alumni Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, yaitu Bapak Sahbirin.
Foto: Presiden RI, Joko Widodo, didampingi Gubernur Kalsel, Sahbirin, harus berjalan kaki sekitar 1 Km melewati jamaah haul menuju pusat acara yaitu Mushalla Ar-Raudhah. (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/03/26/p65ktm428-jokowi-jalan-1-km-hadiri-haul-abah-guru-sekumpul.)
Foto dari kiri-kanan: Presiden Jokowi (menggunakan jas biru), Kapolri Tito karnavian, dan Gubernur Kalsel Sahbirin (berbaju putih dan kopiah putih) di acara Haul Ke-13 Guru Sekumpul
Terlepas dari kontroversi hukum mengenai acara haul, setidaknya terdapat fenomena menarik, yaitu betapa besarnya penghormatan masyarakat terhadap almarhum Guru Sekumpul. Dalam hal ini penulisa tertarik untuk menelusuri pendidikan masa kecil beliau sehingga menjadi tokoh agama yang disegani.
Foto: Suasana keramaian Haul ke-13 Guru Sekumpul (Banjarmasin Post – Tribunnews.com)
Martapura, Tunggul Irang, malam Rabu, 27 Muharram 1361 H, bertepatan dengan 11 Februari 1942 M, sekitar pukul 02.00 dini hari, dilahirkan seorang bayi yang diberi nama Ahmad Qusyairi, yang kelak berganti nama menjadi Muhammad Zaini, yang lebih dikenal dengan Guru Sekumpul.
Dari pihak ayah silsilah lengkap beliau yaitu Muhammad Zaini bin Abdul Ghani bin Abdul manaf bin Muhammad Semman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin Mufti H.M Khalid bin Khalifah H.Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Sedangkan dari pihak ibu, Hj. Masliah binti Shafiyah binti Iyang binti Muhammad Yusuf bin Mufti H.M Khalid bin Khalifah H.Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Berdasarkan nasab tersebut, antara ayah dan ibu dari Guru Sekumpul masih terkait keluarga, yang bertemu nasabnya pada Mufti H.M Khalid, cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau dikenal dengan masyarakat dengan sebutan Datu Kalampayan.
Salah seorang yang paling berperan dalam mendidik Zaini kecil ialah ayah beliau, Abdul Ghani. Abdul Ghani merupakan pribadi yang terkena baik, saleh, ramah, dan pemurah. Salah satu riwayat yang menceritakan kesalehan Abdul Ghani ialah pada caranya mengatur sistem usaha dagang. Abdul Ghani menerapkan bahwa setiap keuntungan dagang harus dibagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi keperluan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan.
Dalam mendidik anaknya, Abdul Ghani senantiasa bertindak disiplin, tegas, dan ketat. Ini dibuktikan ketika Zaini kecil belajar Al-Qur’an kepada Guru Hasan di Keraton. Dari mulai berangkat mengaji hingga pulang, waktunya selalu dihitung dan diteliti. Jika lebih atau kurang dari waktu yang semestinya, Abdul Ghani pasti akan menginterogasi anaknya. Misalnya ketika Zaini pulang mengaji lebih cepat dari biasanya. Abdul Ghani menanyakan kenapa pulang lebih cepat. Zaini menjawab bahwa anak Guru Hasan mengabarkan kalau pengajian diliburkan karena beliau ada kesibukan. Kemudian Abdul Ghani menanggapi “kalu nang mamadahakan lain Guru, maka kada asi, ayu mangaji, nyawa babulik!. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin seperti ini, “Kalau yang memberitahu bukan Kyai, maka jangan disimpulkan dulu. Cepat kembali untuk mengaji!”.
Pada saat yang lain, Zaini kecil diajak seorang temannya untuk jalan-jalan. Mereka berdua kemudian ke pasar dan tanpa diduga Zaini, temannya tersebut memaksanya untuk masuk ke dalam bioskop. Zaini berusaha mengelak, namun tidak bisa. Pada saat masuk, tiba-tiba listrik padam, sehingga pemutaran film terhenti. Ternyata, aktifitas Zaini di pasar tersebut diketahui oleh sang ayah, sehingga akhirnya Zaini kecil dihukum sebagai efek jera atas perilakunya.
Pendidikan dasar yang paling pertama diterima Zaini adalah dari orang tua dan nenek beliau, Salbiyyah. Mereka yang berperan memberikan dasar-dasar ilmu Tauhid, Akhlak, dan Al-Qur’an kepada beliau. Di usia 7 tahun, Zaini mulai memasuki pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam. Namun beliau tidak meninggalkan aktifitas terdahulu, yaitu mendatangi rumah-rumah para kyai untuk belajar. Sehingga pada pagi hingga siang hari, beliau belajar di Darussalam. Sedangkan sore hinga malam hari, beliau gunakan untuk belajar ke rumah kyai.
Berdasarkan beberapa kejadian di atas menunjukkan bahwa pendidikan Zaini kecil sangat diperhatikan oleh orang tuanya, terutama masalah akhlak. Akhlak mulia merupakan pondasi utama terciptanya hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama manusia, serta antara manusia dengan alam sekitarnya (hewan dan tumbuh-tumbuhan).
Syauqi Bey seorang pujangga Islam belasan abad yang silam pernah bersenandung dengan syairnya:
وَإِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ ¤ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Artinya: “Suatu bangsa akan tegak dengan tegaknya akhlak bangsa itu. Dan bangsa itu akan hancur dan musnah apabila akhlak bangsa itu telah tiada”
Maka dengan demikian semakin jelas begitu urgennya akhlak mulia bagi seseorang, baik ia sebagai individu, maupun kelompok (masyarakat). Lebih jauh hal ini dapat ditelusuri dari salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad Saw., yakni untuk memperbaiki akhlak atau budi pekerti manusia.
أخبرنا أبو محمد بن يوسف الأصبهاني أنبأ أبو سعيد بن الأعرابي ثنا أبو بكر محمد بن عبيد الله المروروذي ثنا سعيد بن منصور ثنا عبد العزيز بن محمد أخبرني محمد بن عجلان عن القعقاع بن حكيم عن أبي صالح عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّـمَا بُعِثْتُ لِأُتَـمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (روي عن الدراوردي)
Artinya: mengabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Yusuf Al-Ash-bahani. Mengabarkan Abu Sa’id Al-A’rabi, mengabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ubaidillah Al-Marwarudzi mengabarkan kepada kami Sa’id bin Manshur mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad mengabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Ajlan dari Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah R.A ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda “hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (diriwayatkan dari Ad-Durawardi)
Harun Nasution mengomentari hadits di atas, bahwa kata “innama” yang terkandung dalam hadits di atas mengandung maknai “hanya semata-mata”, karena itu tidak untuk hal lain. Terkandung dalam hadits itu bahwa Nabi Muhammad diutus hanya untuk urusan budi pekerti, moral atau akhlak manusia (Harun Nasution, 1995)
Muhaimin mempaparkan bahwa hadits tersebut mengandung makna yang sangat luas dan mendalam mengenai akhlak. Insan Cerdas Komprehensif (sebagai salah satu visi pendidikan nasional), yakni cerdas spiritual, intelektual, emosional, sosial, dan cerdas kinestetis adalah termasuk manifestasi dari makarimal akhlaq. Cerdas spiritual menyangkut kemampuan selalu merasa diawasi oleh Allah (iman), gemar berbuat lillahi ta’ala, disiplin beribadah mahdhah, sabar berikhtiar serta pandai bersyukur dan berterima kasih. Cerdas emosional menyangkut kemampuan mengendalikan emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerja sama, menunda kepuasan sesaat, dan berkepribadian stabil. Cerdas sosial menyangkut senang berkomunikasi, senang menolong, senang berteman, gemar berbuat sehingga orang lain senang, dan senang bekerja sama. Cerdas intelektual menyangkut cerdas, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta kemampuan menentukan prioritas mana yang lebih bermanfaat. Dan cerdas kinestetis menyangkut sehat secara medis, tahan cuaca, tahan bekerja sama dan tumbuh dari rezeki yang halal. (Muhaimin, 2009)
Melalui cerita masa kecil Guru Sekumpul (Zaini bini Abdul Ghani) yang merupakan keturunan dari Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari), setidaknya kita dapat mengambil pelajaran bahwa pendidikan anak harus diawali dari orang tua dan keluarga. Keteladanan dan pengawasan orang tua dan keluarga menentukan keberhasilan pendidikan anak. Terutama berkenaan dengan akhlak. Sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Taufiqurrahman, dkk. bahwa keluarga teladan mempunyai pola pendidikan akhlak yang sangat positif sehingga menentukan keberhasilan pendidikan anak-anaknya. (Taufiqurrahman, dkk., 2013).
Foto: Suasana makan bersama setelah kegiatan haul